OPINI: Dunia yang Mengalir
Oleh: Yanuardi Syukur (Dosen Program Studi Antropologi Sosial, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Khairun, Ternate)
Saat ini kita hidup di musim hujan. Beberapa hari ini misalnya, hujan turun terus, baik yang lebat atau yang rintik-rintik. Ada yang bilang, cuaca yang berubah, cuaca yang tidak stabil. Ada juga yang bilang “cuaca ekstrem”, dan seterusnya. Apapun itu, kita diajarkan untuk berdoa saat turun hujan: “Allahumma shayyiban nafi’an”, yang artinya “Ya Allah, turunkanlah hujan yang bermanfaat.”
Cerita hujan adalah cerita soal aliran. Aliran tidak lepas dari reproduksi dalam arti seluas-luasnya–tidak hanya fisik. Ikan salmon perlu bermigrasi agar melahirkan salmon baru. Mereka lahir di perairan air tawar, kemudian ke laut, dan kembali lagi ke air tawar untuk bereproduksi. Ada kepercayaan begini: salmon selalu kembali ke tempat ia dilahirkan untuk berkembang biak. Spesies anadromous itu “mengalir” dalam aliran naturalnya untuk melahirkan sesuatu bagi dunia.
Air hujan yang turun ke bumi juga begitu. Dimulai dari proses penguapan yang terjadi di permukaan bumi akhirnya melahirkan air yang turun dari atmosfer ke bumi. Ibarat kata, hujan hanya mengikuti takdirnya sebagai hujan. Proses penguapan itu singkatnya membentuk uap air, terangkat dan terbawa angin ke atmosfer, dan akhirnya turun jadi hujan. Jadi, hujan itu dari bumi juga. Dari kita untuk kita. Hujan yang turun ke bumi itu mengalir, diresap oleh tanaman, permukaan tanah, ke sungai, air laut, bahkan dipakai juga untuk manusia untuk berwudhu sebab statusnya suci dan mensucikan.
Jika tadi aliran yang kita ceritakan itu terkait alam, dalam dunia sosial manusia juga aliran itu terjadi berbagai aliran. Arjun Appadurai mengusulkan kita untuk melihat dunia tidak dari perspektif “pusat-pinggiran” atau center-periphery berbasis negara, tapi berdasarkan interaksi & pemutusan dalam lima dimensi aliran global: ethnoscapes (orang), technoscapes (teknologi), financescapes (uang), mediascapes (media), dan ideoscapes (gagasan).
Kata Appadurai, aliran-aliran itu di dunia kita saat ini terjadi sebab adanya kebebasan dan improvisasi kreatif. Artinya, saat ini interaksi manusia terjadi begitu cepat sebab aliran-aliran tersebut. Banyak hal berubah, misalnya saja aliran media. Fajar Sadboy, lelaki 15 tahun asal Suwawa, Gorontalo, belakangan ini namanya viral mulai dari TikTok, Instagram, podcast dan juga televisi.
Fajar terkenal sebab mengaku ditinggalkan oleh perempuan yang dia cintai. Katanya, “…dari awal Oktober saya saya punya chat dia read (baca) terus dia tak pernah balas.” Uniknya, dia pandai berkata-kata, seperti Vicky Prasetyo, bahkan ada yang bilang, “Lord Vicky telah memiliki titisan baru.”
Di antara quotes Fajar yang menarik di media sehingga sosoknya jadi “arus baru” di media, adalah begini:
1. “Perbedaan kamu dengan Naruto. Naruto seribu bayangan, kamu seribu alasan.”
2. “Lelah berjuang tapi orang lain yang dapat.”
3. “Sakit boleh, bodoh jangan.”
4. “Dia yang menikmati saya yang disakiti. Entar akhir cerita dia yang ke pelaminan, saya yang jadi tamu undangan.”
5. “Jika orang mengucapkan kebenaran pada orang pintar, orang pintar akan percaya, tapi jika mengucapkan kebenaran pada orang bodoh, orang bodoh akan tersinggung.”
6. “Kalian hanya bisa melihat tapi tidak bisa merasakan.”
7. “Orang berjuang akan kalah dengan orang beruang.”
Quotes nomor 7 itu mengena di hati warganet atau netizen. Orang yang berjuang mati-matian bisa kalah dengan orang yang punya uang. Ini sebenarnya kayak “hukum rimba” dalam proses pernikahan yang usianya sudah purba, siapa “kuat” uang dia dapat; bahwa acapkali orang dilihat berdasarkan uangnya, bukan berdasarkan ketulusannya.
Citra baru yang mengangkat nama Fajar Sadboy itu tidak lepas dari kemampuannya untuk menyiasati kesedihan. Kesedihan itu dibaca oleh media sebagai keunikan, bernilai berita, dan layak diviralkan. Maka, berlomba media menviralkan sosok Fajar Sadboy, apalagi tema cinta itu tema yang tidak pernah ada habis-habisnya; sejak dulu sampai sekarang kepedihan cinta selalu menyita perhatian manusia. Itulah kenapa cerita kepedihan tidak pernah kehabisan penggemarnya.
Netizen kita senang dengan sesuatu yang ringan dan menghibur. Mereka terlalu berat untuk mencerna teori-teori yang disuguhkan akademisi. Beberapa akun TikTok berusaha untuk memudahkan sesuatu yang rumit jadi sederhana, dan itu berhasil. Ada pendekatan berbasis keunikan, kecanggihan, dan sesuatu yang membuat mata dan telinga netizen tertarik untuk mengikuti video tersebut sampai tuntas.
Kembali pada bagian awal, dunia kita adalah dunia aliran. Semuanya mengalir, dan untuk itu perlu dialirkan. Seperti air hujan yang saat ini masih membasahi bumi, manusia juga mengalir dengan dirinya. Darah kita tiap hari mengalir di tubuh dan membuat kita bisa bisa beraktivitas seperti biasanya. Mungkin tidak salah jika dikatakan bahwa kehidupan tidak lepas dari aliran, dan siapa ingin menjadi sesuatu maka ia harus mengalirkan apa yang ada dalam dirinya.
Depok, 29 Desember 2022