Dilema Kesehatan Mental Ibu Pasca Persalinan: Antara ASI, Bayi, dan Harmonisasi Keluarga
Oleh: Rahmawati
Mahasiswa Program Studi Doktor (S3) Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin
Kesehatan mental telah lama dinyatakan sebagai hak asasi manusia. Seperti yang dicatat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tentang definisi “Sehat yaitu keadaan yang sempurna baik fisik, mental maupun sosial, tidak hanya terbebas dari penyakit atau kelemahan/cacat”. Sehubungan dengan Agenda Pembangunan Berkelanjutan 2030, PBB telah menetapkan 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Kesehatan mental adalah inti dari SDG 3 yang berfokus pada kesehatan dan kesejahteraan yang baik, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB hampir tidak dapat dicapai tanpa memberikan perhatian yang cukup pada kesehatan mental. Berdasarkan data BKKBN pada 2024, sebanyak 57% ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues, yakni depresi ringan setelah melahirkan. Persentase tersebut menjadikan Indonesia sebagai negara dengan risiko baby blues tertinggi di Asia.
Menjadi seorang ibu merupakan suatu kebahagiaan tersendiri bagi seorang wanita pasca lahiran namun, kenyataannya tidak semua ibu merasakan hal tersebut. Pasca lahiran merupakan fase penuh tantangan bagi seorang ibu. Tubuh ibu butuh waktu untuk pulih dari proses fisik kelahiran, yang memerlukan waktu dan energi tambahan di tengah tanggung jawab baru dalam merawat bayi. Waktu tidur yang tidak teratur sehingga kurangnya waktu untuk istirahat dan mengurus diri sendiri. Selain harus menyesuaikan diri dengan peran baru dalam merawat bayi, ibu juga mengalami perubahan psikologis, emosional, spiritual dan sosial yang sering kali dapat menjadi sumber stres dan kecemasan terlebih lagi bagi seorang ibu baru.
Salah satu kondisi yang umum dialami ibu pasca persalinan adalah gangguan suasana hati yang tidak menentu yang biasa disebut dengan istilah postpartum blues atau baby blues. Postpartum blues adalah gangguan kesehatan mental yang dialami wanita pasca melahirkan. Kondisi ini seringkali tidak terdeteksi dan dianggap wajar sebab dianggap sebagai kelelahan ibu pasca melahirkan. Gejala yang dirasakan yaitu perasaan cemas, kesedihan, kelelahan, dan suasana hati yang tidak stabil, mudah tersinggung dan marah, kurang tidur dan kurang nafsu makan. Terkadang ibu bingung dengan perasaannya sendiri. Perasaan tersebut muncul dalam beberapa hari setelah persalinan dengan gejala puncak dalam 3-5 hari pertama, dan biasanya mereda dalam waktu 10-14 hari setelah kelahiran bayi. Meskipun gejala-gejala ini seringkali dianggap sebagai bagian dari proses penyesuaian normal setelah melahirkan, Namun jika tidak ditangani dengan tepat postpartum blues dapat berkembang menjadi gangguan kesehatan mental yang lebih serius. seperti depresi pascapersalinan (postpartum depression), hingga psikosis pasca persalinan dan berdampak bagi kebahagiaan dan keharmonisan ibu, bayi, dan keluarga jika tidak segera ditangani.
Ibu dengan postpartum blues dapat mengganggu pemberian ASI pada bayi sebab perasaan stres dan cemas dapat mempengaruhi penurunan produksi ASI dan kemampuan ibu untuk menyusui dengan nyaman. Dampak bagi bayi yaitu kurangnya bonding atau ikatan kasih sayang oleh ibu karena kurangnya kedekatan emosional dan interaksi yang seharusnya terbentuk melalui proses menyusui dan hal ini akan berpengaruh pada perkembangan kecerdasan, emosional dan sosial anak. Selain itu, kondisi ini juga dapat memengaruhi keharmonisan keluarga, terutama jika ibu merasa tidak mendapatkan dukungan psikologis, emosional dan instrumental yang cukup dari pasangan atau keluarga terdekat maka hal ini dapat memicu terjadinya konflik terhadap pasangan.
Dampak yang lebih serius jika postpartum blues tidak tertangani dengan baik dapat berlanjut ketahap depresi pasca persalinan bahkan ke tahap yang lebih parah yaitu psikosis pasca persalinan dimana gejalanya adalah ibu merasa putus asa, memiliki rasa bersalah atau penyesalan yang mendalam, tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari, termasuk merawat bayinya bahkan dirinya sendiri. Sulit berpikiran jernih, berkonsentrasi, atau mengambil keputusan, Tidak ingin bersosialisasi dengan teman dan keluarga, Kehilangan minat terhadap kegiatan yang biasa disukainya, Putus asa, halusinasi (disorientasi dengan suasana nyata), Berpikir untuk melukai dirinya sendiri atau bayinya, bahkan munculnya pikiran tentang kematian dan ingin bunuh diri.
Beberapa faktor risiko yang dapat mempengaruhi terjadinya masalah kesehatan mental pada ibu pasca melahirkan diantaranya kurangnya dukungan sosial, psikologis, dan emosional dari pasangan dan keluarga terdekat, kondisi sosial ekonomi, riwayat trauma masa kecil, kesehatan mental sebelum dan selama kehamilan, riwayat gangguan mental pada keluarga.
Solusi Pencegahan dan Penanganan Postpartum Blues membutuhkan pendekatan yang komprehensif diantaranya adalah:
1. Perlunya edukasi dan informasi sejak masa kehamilan oleh tenaga kesehatan kepada ibu dan keluarga tentang persiapan mental dan perubahan pasca lahiran, serta cara merawat bayi sebagai upaya pencegahan terjadinya postpartum blues.
2. Pentingnya dukungan psikologis dan emosional dari suami dengan cara memberikan perhatian, komunikasi terbuka dengan pasangan sehingga ibu merasa didengarkan dan di pahami perasaannya, memberikan rasa aman dan nyaman bagi ibu, tidak memperlakukan ibu dengan sikap dan bahasa kasar yang menyakitkan perasaan ibu.
3. Pentingnya dukungan instrumental dari suami, keluarga, dan tenaga kesehatan dalam membantu ibu menyesuaikan diri dengan peran barunya, membantu dalam merawat bayi, melakukan pekerjaan rumah, sehingga ibu memiliki kesempatan untuk merawat diri dan istirahat yang cukup.
4. Pentingnya dukungan sosial dari komunitas sesama ibu akan memberikan kesempatan ibu untuk saling berdiskusi dan sharing informasi tambahan.
5. Terakhir, Pentingnya melakukan skrining awal oleh tenaga kesehatan kepada ibu pasca melahirkan untuk mendeteksi kejadian postpartum blues sehingga dapat segera diberikan penanganan lebih dini. jika gejala postpartum blues berlanjut atau semakin parah, ibu disarankan untuk segera berkonsultasi dengan tenaga profesional, seperti psikolog atau konselor. Penanganan yang cepat dapat mencegah kondisi ini berkembang menjadi gangguan kesehatan mental yaitu depresi dan psikosis pasca melahirkan yang lebih serius.
Kesehatan mental ibu setelah melahirkan adalah aspek yang krusial dalam menjaga keharmonisan keluarga. Perubahan hormon, fisik, dan psikologis pasca lahiran memerlukan perhatian khusus, terutama terkait risiko postpartum blues. Dengan dukungan yang tepat dan langkah-langkah pencegahan yang efektif, ibu dapat melalui masa transisi ini dengan lebih baik, sehingga ibu ikatan kasih sayang anatar ibu dan bayinya dapat terjalin dengan baik dan diharapkan ibu dapat menyusui serta memberikan ASI secara optimal pada bayinya, melakukan perawatan pada bayi dan anak-anaknya, serta keharmonisan keluarga tetap terjaga.