Belajar Mencintai Buku
Oleh: Yanuardi Syukur
Saat menunggu penerbangan saya selalu sempatkan lihat-lihat buku. Jika ada yang pas, saya beli. Tadi beberapa menit sebelum boarding saya sempat beli buku karya sejarawan Oxford Peter Frankopan ‘The Earth Transformed’ (Bloomsbury, 2023). Buku tebal 600-an itu secara umum membahas transformasi bumi dimulai dari awal bumi terbentuk sampai pada krisis ekologis dewasa ini. Di buku ini Frankopan ingin mengajak kita untuk sadar bahwa kehadiran kita di bumi ini harusnya konstruktif, bukan destruktif.
Saat baca buku ini di atas langit Jawa, saya membayangkan bagaimana masa depan dunia ‘akibat ulah manusia’. Berbagai hal yang kita lakukan untuk menjadi modern ternyata berdampak buruk pada iklim kita secara global. Eksploitasi sumber daya alam telah menyebabkan kerusakan bumi, dan kerusakan itu pada akhirnya merusak juga ekosistem secara umum. Gagasan untuk cinta bumi atau ‘bumi untuk semua’ adalah penting untuk disuarakan. Bahwa apa yang kita lakukan sepatutnya tetap berpikir sustainability-nya.
Saya mulai tertarik baca buku Peter Frankopan saat pertama kali beli 2019. Itu bukunya yang terbit di 2018, kelanjutan dari buku sebelumnya: “Silk road” ke “New silk road.” Saat lihat buku-buku itu, saya tertarik dan beli. Di buku “new silk road” dia menjelaskan bahwa dunia sekarang sedang beralih dari Barat ke Timur. Banyak hal dibentuk di Timur, seiring dengan kebangkitan Dunia Timur. Cara dia mengemas berbagai referensi sangat menarik, dan bagus untuk dipelajari, terutama yang senang nulis ilmiah-populer.
Beli buku adalah bagian dari mencintai buku. Kadang, untuk membangkitkan kesadaran cinta buku itu kita harus membeli dengan harga yang tinggi, semata-mata untuk meningkatkan semangat baca buku. Beberapa tahun lalu, pas selesai kegiatan saya langsung ke sebuah toko buku di Margonda, dan beli sebuah kitab tafsir. Semata-mata karena ingin mencintai buku, karena sesuatu yang kita perjuangkan biasanya akan kita cintai sepenuh hati.
Saya jadi ingat waktu kuliah dulu. Secara berkala saya ke toko buku dari Tamalanrea ke Cendrawasih untuk lihat, dan kalau lagi dapat beasiswa saya langsung beli buku. Kadang juga ke toko buku tua tak jauh dari Pasar Sentral, atau di toko buku tua juga di seberang masjid di Urip Sumoharjo. Di Jakarta, saat masih sekolah saya juga rajin beli buku di Blok M, Mayestik, atau sesekali di Kwitang. Kalau lagi ada duit beasiswa, saya juga mampir ke toko buku di Kramat Raya, di bawah masjid Dewan Dakwah.
Beli buku termasuk menyenangkan, bahkan sampai sekarang. Beberapa waktu lalu seorang kawan bertanya, “di rumah ada banyak koleksi buku ya?” Saya jawab, iya, namun terpencar di beberapa kota. Belakangan memang ada ratusan buku yang saya sumbangkan ke salah satu taman bacaan, karena menurutku buku tersebut lebih bermanfaat ketimbang hanya dipajang di rumah.
Dunia buku adalah dunia yang sepi, tapi ‘rame’ di kepala. Saat membaca dalam sepi kita akan merasakan keramaian di kepala; semua sambung menyambung. Apa yang kita simpan di kepala itu pada saatnya nanti akan bertemu juga dengan hal-hal lain yang kita lihat, dengar atau rasakan. Namun sejak internet kita pakai, budaya baca buku atau beli buku kita agak menurun. Dampaknya, diskusi kita pun tidak mendalam; cenderung di permukaan. Saya merasa sejauh ini masih di permukaan terus, karena agak lalai dalam membaca buku secara mendalam.
Belajar mencintai buku rasanya penting buat kita sekarang. Internet boleh kita pakai, tapi buku-buku cetak tetap menarik untuk dibaca, di situ kita bisa coret, bisa kita sentuh kertasnya, bahkan mencium bau kertas itu. Apapun profesi dan jenjang kita, sudah selayaknya kita bertanya pada diri sendiri, apakah sudah baca buku atau belum. Jika ada rezeki tak ada salahnya beli buku, nikmati saat membaca buku, kemudian berbagi apa yang ada dari buku itu.
Banyuwangi, 17 Juli 2023